NKRI DI ATAS
NERACA;
Sebuah Refleksi
Kedaulatan, Ketahanan, dan Kesejahteraan Negara
Indonesia
merupakan negara maritim atau kepulauan terbesar di dunia yang antara pulau satu dengan
pulau lainnya dipisahkan oleh laut. Sebagai sebuah negara maritim Indonesia memiliki nilai strategis
yang memperoleh pengakuan dari dunia internasional.
Laut bagi
bangsa Indonesia memiliki arti sebagai medium pertahanan dan keamanan negara yang berorientasi
pada perkembangan
lalu lintas laut dan jenis kapal yang beraneka ragam dengan segala macam
dampaknya bagi negara Indonesia. Selain itu, laut
juga sebagai
medium harapan masa depan. Hal itu karena secara
ekonomis, laut
dapat mencadangkan sumber-sumber kekayaan laut.
Dengan jumlah
dan jenis kekayaan laut yang beragam serta letak Indonesia pada posisi silang
jalur laut menyebabkan kerawanan yang diakibatkan oleh konflik antarindividu
maupun negara dalam menyelenggarakan kepentingan masing-masing. Konflik ini
semakin tajam manakala manusia menyadari bahwa sumber daya alam di darat
semakin berkurang dan kemajuan IPTEK kelautan lebih menjanjikan untuk
melaksanakan eksploitasi dan eksplorasi di laut. Penegakan kedaulatan di laut
tidak dapat dilaksanakan tanpa memahami batas wilayah / wilayah teritorial
serta peraturan-peraturan perundangan yang mendasari penegakan kedaulatan
tersebut yang secara keseluruhan pada hakekatnya bersifat dan bertujuan untuk
ketertiban, keamanan (security), dan kesejahteraan
(prosperity) dengan memperhatikan hubungan internasional (international
relation).
Pada era
globalisasi, kejahatan di perbatasan
Indonesia dengan negara tetangga justru tampak
terabaikan. Perbatasan seolah
teralienasi dari hiruk-pikuk kemajuan negara. Hal tersebut akan menguntungkan
pelaku kejahatan lintas negara. Hampir semua
jenis kejahatan tingkat lintas negara yang bernilai ekonomi tinggi memanfaatkan
kelemahan di kawasan perbatasan.
Penetapan dan
penegakan batas wilayah merupakan hal yang sangat krusial karena menyangkut
kedaulatan wilayah Indonesia di laut. Aspek perekonomian (pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan kelautan), dan aspek hankam serta stabilitas kawasan merupakan hal
yang fital dalam sebuah sistem kenegaraan.
Ini
merupakan sebuah
ironi jika
Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal
dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi Indonesia secara geopolitik akan
lemah. Jika sudah lemah dapat memicu
berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit diatasi, apalagi dengan kekuatan militer
maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan
peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.
Wilayah laut
yang demikian luas dengan pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses
pada sumber daya alam seperti ikan dan
terumbu karang, minyak dan gas bumi, serta mineral. Akses-akses itu merupakan kekayaan biologi yang
bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, laut juga dapat dimanfaatkan sebagai
wilayah wisata bahari yang tidak kalah ekonomisnya dengan hal-hal di atas. Namun sayangnya keuntungan
yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa nusantara tidak
disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa Indonesia masih
mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak, Indonesia mempunyai persepsi kewilayahan tanah
air, tetapi memosisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan
puluhan juta petani miskin yang belum
sanggup disejahterakan,
Berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman
dibuat dan dideklarasikan, namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian
maritim dan pembangunan sumber daya manusia belum pernah dijadikan arus utama
pembangunan nasional yang didominasi oleh kepentingan
daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang dibuat tetapi dengan mandat
terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan
pemerintahan.
Di balik semua itu,
masyarakat di sekitar perbatasan sampai saat ini masih mengalami nasib yang memperihatinkan karena minimnya
perhatian pemerintah. Perbedaan mencolok terlihat antara masyarakat wilayah
pusat dengan wilayah perbatasan dan sekitarnya. Di wilayah perbatasan tampak
bangunan sangat sederhana atau kasarnya disebut gubuk. Kondisi jalan juga
memprihatinkan dan infrastruktur yang ada jelas tidak sedap dipandang mata,
bahkan bisa memilukan hati. Sebaliknya, di wilayah pusat, terdapat jalan
berhotmix dua arah dan banyak bangunan megah, bahkan jika malam tiba, jutaan
lampu warna-warni berkelap-kelip memancarkan keindahan yang bisa menarik siapa
pun untuk mengunjunginya. Namun
di kawasan perbatasan, hanya ada penerangan sekedarnya menggunakan penerangan
dengan minyak gas, damar dan sejenisnya. Hal itu menyebabkan desa-desa tersebut
pada umumnya masih sangat terisolir, tertinggal, dan terbelakang dengan tingkat kesejahteraan
penduduk rendah. Fenomena itu disebabkan terbatasnya
ketersediaan sarana transportasi, informasi, dan komunikasi. Kondisi ini berakibat pada
ketergantungan hidup penduduk perbatasan dengan negara tetangga masih sangat tinggi,
Sungguh ironi memang, kondisi inilah yang membuat banyak warga
Indonesia di perbatasan memiliki identitas atau ber-KTP ganda, yakni satu
identitas bewarga negara Indonesia, sedangkan identitas lainnya tercatat
sebagai warga negara tetangga. Hal ini dilakukan warga agar mereka mudah keluar dan
masuk ke negeri orang, karena di negeri itu tercukupi segala kebutuhan yang
diinginkan, baik untuk keperluan jual beli maupun keperluan pribadi, bahkan yang
lebih mencengangkan dan harus menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah,
banyak warga perbatasan yang eksodus (bersama-sama orang banyak pindah warga
negara).
Persoalan yang mendera warga di
daerah perbatasan itu akibat dari keterisoliran mereka yang dibiarkan selama
puluhan tahun oleh pemerintah. Selain itu batas kepulauan yang ada di Indonesia
selama ini tidak dilengkapi dengan pagar atau pembatas yang menjadi rambu-rambu
bagi negara lain jika memasuki wilayah NKRI. Akibatnya, sering terjadi insiden
warga negara asing memasuki wilayah teritorial Indonesia baik di kawasan darat
maupun laut.
Untuk mengatasi
ini, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, namun perlu campur tangan masyarakat
pedalaman (perbatasan), sehingga perbatasan bukan menjadi pintu belakang
seperti yang terjadi selama ini, namun perbatasan harus menjadi beranda depan
negara. Penanganan
perbatasan bukan hanya menjadi isu kabupaten dan provinsi, namun juga menjadi
permasalahan nasional, bahkan telah menjadi isu internasional.
Masalah yang
cukup komplek dan berat antarawilayah pusat dan perbatasan yang terlihat yaitu
berupa:
1.
Kesenjangan dalam perkembangan sosial ekonomi yang mencolak antarwilayah, antardesa,
antarkota, dan antarsektor
ekonomi.
2.
Kurangnya peranan dan keterkaitan sektor moderen terhadap sektor tradisional.
3.
Terbatasnya sumber daya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas.
4.
Masih rendahnya tingkat aksesibilitas wilayah dan kurangnya kemudahan terhadap
fasilatas berusaha, sehingga menjadi kendala menarik investasi.
5.
Terbatasnya infrastruktur
berupa sarana dan prasarana.
6.
Keadaan topografi yang berat, sebagian besar gunung-gunung, sehingga sulit
dijangkau program pembangunan.
Nasib
warga di perbatasan yang sangat memprihatinkan dapat ditilik melalui fasilitas
pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang masih minim. Masih banyak desa yang
terisolir karena tidak memiliki akses jalan darat. Bahkan ada beberapa desa
yang tidak bisa ditempuh melalui jalan air maupun jalan darat, sehingga untuk
mencapai daerah tertentu harus menggunakan pesawat terbang.
Melihat realita
kawasan perbatasan tersebut tentu saja akan menjadi pemicu munculnya
rasa prihatin dari semua pihak yang peduli
dan menaruh perhatian terhadap pembangunan kawasan perbatasan. Hali itu mengingat betapa penting
dan strategisnya peranan kawasan perbatasan, baik dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya maupun dari sudut
pandang pertahanan dan keamanan serta kedaulatan negara.
Dari segala bentuk permasalahan baik politik, agama,
sosial, ekonomi maupun kemanusiaan, sebenarnya memiliki persamaan yakni dimulai dari ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemerintah
pusat. Kondisi itulah yang membuat munculnya gerakan separatisme
yang mengemuka di daerah-daerah perbatasan. Mereka memperjuangkan haknya dengan
jalan pintas seperti yang dilakukan oleh Papua dan Aceh.
Untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa harus
diciptakan stabilitas keamanan yang mantap dan dinamis dalam rangka mendukung
integrasi bangsa serta menegakkan peraturan hukum sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Lemahnya penegakan hukum serta
sistem keamanan wilayah perbatasan harus menjadi perhatian utama. Pengamanan
wilayah NKRI harus dilakukan melalui pendekatan beberapa aspek, terutama aspek
demarkasi dan delimitasi garis batas negara. Pengamanan
wilayah NKRI juga dapat dilakukan melalui
pendekatan pembangunan kesejahteraan, politik, hukum, dan keamanan dalam program
pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diharapkan dapat menghasilkan
kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Di sadari atau tidak, peran masyarakat daerah perbatasan sebenarnya
memiliki peranan sentral dalam proses pertahanan dan keamanan negara, khususnya
di wilayah perbatasan. Sebenarnya dalam proses penjagaan di daerah perbatasan
tidaklah perlu mengerahkan tentara yang banyak untuk berjaga di sana. Cukup
berilah perhatian penuh pada masyarakat tertinggal yang hidup di perbatasan
tersebut, cukupi kebutuhannya dan buka akses jalan, berikan teknologi
dan pendidikan yang layak, buat mereka
percaya terhadap pemerintah dan tumbuhkan semangat cinta tanah air dalam benak
mereka. Jika
sudah demikian maka tanpa disuruh mereka
akan dengan sendirinya menjaga pulau dan daerah mereka dari ancaman negara luar
dengan sendirinya.
Selain itu, untuk meningkatkan dan
mengembangkan sektor
pertanian yang ada di daerah perbatasan, pemerintah bisa memberdayakan
penduduk yang ada di perbatasan dengan membuat pos-pos penjagaan yang tidak hanya dijaga oleh tentara saja,
melainkan warga setempat juga. Berilah
pengertian pada masyarakat setempat bahwa orang asing selama ini telah
memanfaatkan bumi Indonesia. Selain itu,
pos-pos yang dibangun di sekitar daerah perbatasan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan
umum, misalnya
dengan membuka akses perdagangan laut, dengan melakukan proses jual beli, dan membuka pasar-pasar tradisional. Jika hal itu
diterapkan dan dikelola dengan baik, maka akan terjalin hubungan yang saling
menguntungkan kedua belah pihak. Warga bisa mendapat keuntungan materil, para anggota TNI bisa
melakukan pengawasan dengan baik,
dan negara asing pun
jika ingin melakukan jual beli di daerah perbatasan juga di perbolehkan. Dengan hal itu, kita bisa mewujudkan keutuhan bangsa Indonesia yang
bersatu, demokratis, adil, makmur, dan sejahtera secara merata di seluruh
pelosok tanah air